Aspek Kedokteran Forensik pada Korban Luka Bakar

PENDAHULUAN

Luka bakar merupakan cedera dan/atau kerusakan terhadap jaringan yang disebabkan oleh kontak dengan sumber yang memiliki suhu tinggi, seperti terbakar api, matahari, listrik, terpajan uap dan cairan panas, maupun bahan kimia. Luka bakar merupakan cedera yang cukup sering dihadapi oleh dokter. Berbagai kondisi terkait kehidupan sosial penderita luka bakar, seperti keterbatasan yang ditimbulkan dan biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan, memberikan pengaruh besar terhadap masyarakat.1,2

Berdasarkan Journal of Burn Care and Rehabilitation 1992, diperkirakan terdapat 2,4 juta kasus luka bakar dalam setahun di Amerika Serikat. Sekitar 8.000-12.000 pasien dengan luka bakar meninggal dan sekitar 1 juta pasien akan mengalami cacat substansial atau permanen yang diakibatkan oleh luka bakar yang dialami. Penelitian yang menggunakan subjek penderita luka bakar rawat inap di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada bulan Januari 1998 sampai Mei 2001 menyebutkan bahwa dari 156 penderita terdapat angka mortalitas sebesar 27,6% dimana penderita terbanyak berusia 19 tahun dan laki-laki lebih banyak daripada perempuan. Penyebab luka bakar tersering adalah terkena api (55,1%) dan tempat kejadian luka bakar tersering adalah di rumah (72,4%).3

Luka bakar merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak akibat kecelakaan pada semua kelompok umur. Berdasarkan aspek medikolegal, seorang dokter harus melakukan pemeriksaan terhadap korban yang mengalami luka bakar, baik yang masih hidup maupun yang telah mati. Indikasi untuk melakukan pembunuhan dengan mempersulit identifikasi korban melalui luka bakar juga memiliki prevalensi yang cukup tinggi (90%). Oleh karena itu, diperlukan suatu keahlian khusus untuk membedakan apakah luka bakar terjadi saat masih hidup (antemortem) atau saat sudah mati (postmortem) untuk menutupi penyebab kematian sebenarnya.2

Berdasarkan uraian sebelumnya diketahui bahwa luka bakar memiliki angka insidensi dan mortalitas yang tinggi serta dapat menimbulkan dampak yang serius. Oleh karena itu diperlukan suatu literatur khusus untuk membahas tentang luka bakar dalam keilmuan kedokteran forensik, efeknya terhadap berbagai sistem organ, klasifikasi derajat luka, penyebab kematian utama pada luka bakar, serta bagaimana cara membedakan luka antemortem dan postmortem pada korban luka bakar.

DEFINISI LUKA BAKAR

Luka bakar adalah rusak atau hilangnya jaringan yang disebabkan oleh kontak permukaan tubuh dengan sumber panas, seperti kobaran api di tubuh, jilatan api ke tubuh, terkena air panas, tersentuh benda panas, sengatan listrik, bahan-bahan kimia, serta sengatan matahari.4 Luka bakar merupakan luka yang terjadi akibat sentuhan permukaan tubuh dengan benda-benda yang menghasilkan panas atau zat-zat yang bersifat membakar. Luka bakar merupakan salah satu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi yang membutuhkan penanganan khusus.1,5

ETIOLOGI LUKA BAKAR4,6

Termal
Penyebab termal atau suhu merupakan penyebab luka bakar yang paling sering. Contoh penyebab termal adalah lidah api, permukaan benda yang panas, dan air panas.

Kimia
Contoh penyebab kimia di industri adalah asam kuat atau basa kuat, seperti asam klorida (HCl) atau alkali. Penyebab kimia dapat juga ditemukan dalam rumah tangga, seperti pembersih cat dan desinfektan.

Listrik
Percikan atau arus listrik yang mengalir ke tubuh (tersengat arus listrik atau tersambar petir) dapat menyebabkan terjadinya luka bakar.

Radiasi
Luka bakar radiasi disebabkan karena terpapar sumber radioaktif. Luka bakar akibat radiasi sering disebabkan oleh penggunaan radioaktif untuk keperluan terapeutik dalam dunia kedokteran dan industri. Paparan sinar matahari yang terlalu lama juga dapat menyebabkan luka bakar radiasi.

KLASIFIKASI LUKA BAKAR

Berdasarkan kedalaman jaringan yang mengalami kerusakan, luka bakar terbagi menjadi lima jenis, yaitu:1,2,4,6

Luka bakar derajat I
Luka bakar derajat I disebut juga luka bakar superfisial. Kerusakan yang terjadi pada luka bakar derajat I terbatas pada epidermis superfisial sehingga juga disebut epidermal burn. Kulit tampak kering dan hiperemis atau eritema, tidak dijumpai adanya bula, dan terasa nyeri karena ujung-ujung saraf sensoris mengalami iritasi. Pada hari keempat akan terjadi deskuamasi epitel (peeling) dan luka sembuh spontan dalam 5-10 hari.

Luka bakar derajat II dangkal
Kerusakan pada luka bakar derajat II dangkal mencapai bagian superfisial dari dermis. Organ-organ kulit di dermis, seperti folikel rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea masih utuh. Pada luka bakar derajat II dangkal dijumpai bula yang muncul beberapa jam setelah luka, dasar luka berwarna merah atau pucat, terasa nyeri karena ujung-ujung saraf sensoris mengalami iritasi, dan nyeri yang dirasakan lebih berat dibanding nyeri pada luka bakar derajat I. Penyembuhan terjadi secara spontan dalam 3 minggu.

Luka bakar derajat II dalam
Kerusakan pada luka bakar derajat II dalam hampir mengenai seluruh bagian dermis. Organ-organ kulit di dermis, seperti folikel rambut, kelenjar keringat, dan kelenjar sebasea sebagian masih utuh. Pada luka bakar derajat II dalam dijumpai bula, dasar luka berwarna merah atau putih tergantung variasi dari vaskularisasi pembuluh darah, terasa nyeri karena ujung-ujung saraf sensoris mengalami iritasi. Penyembuhan terjadi lebih lama, yaitu sekitar 3-9 minggu.

Luka bakar derajat III
Kerusakan pada luka bakar derajat III meliputi seluruh lapisan dermis. Kerusakan yang timbul bersifat permanen. Pada luka bakar derajat III tidak dijumpai bula, kulit yang terbakar berwarna putih dan pucat, tidak terasa nyeri karena ujung-ujung saraf sensorik sudah hancur, dan terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang disebut dengan eskar. Penyembuhan terjadi lebih lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan dari dasar luka.

Luka bakar derajat IV
Luka bakar derajat IV disebut juga dengan charring injury. Pada luka bakar derajat IV, kulit tampak berwarna hitam seperti arang karena terbakarnya jaringan. Kerusakan yang terjadi meliputi seluruh kulit, jaringan subkutan, dan tulang.

PENGHITUNGAN LUAS LUKA BAKAR7

Luka bakar juga dapat dibagi berdasarkan luasnya luka yang terjadi. Untuk menghitung luasnya luka bakar, ada tiga metode yang dapat digunakan, yaitu penghitungan dengan menggunakan permukaan palmar, Rule of Nine atau Rule of Wallace, dan Lund and Browder chart.

Penghitungan dengan menggunakan permukaan palmar atau telapak tangan dapat digunakan untuk menghitung luas luka bakar yang relatif kecil (< 15% luas permukaan tubuh) atau yang sangat luas (> 85% luas permukaan tubuh). Satu permukaan telapak tangan sama dengan 0,78% luas permukaan tubuh (LPT). Nilai ini lebih kecil dibandingkan dengan estimasi satu permukaan telapak tangan sama dengan 1% LPT yang biasa diingat banyak petugas kesehatan.

Rule of Nine membagi tubuh menjadi sebelas regio yang masing-masing regio luasnya 9% ditambah dengan daerah kemaluan seluas 1% pada dewasa. Cara ini dapat digunakan pula pada anak-anak dan bayi dengan penyesuaian tertentu. Cara ini dapat digunakan untuk menghitung luka bakar yang sedang-luas dengan cepat. Pada praktiknya, cara ini kurang akurat untuk mengestimasi luas luka bakar pada pasien anak dan bayi. Persentase luas luka bakar berdasarkan rule of nine dapat dilihat pada gambar 1 dan tabel 1.

1 - Luka Bakar - Rule of Nine

Gambar 1   Persentase luas luka bakar berdasarkan rule of nine7

Tabel 1   Persentase luas luka bakar berdasarkan rule of nine8

Bagian tubuh

Persentase (%)

Kepala dan leher

9%

Toraks anterior

9%

Toraks posterior

9%

Abdominal anterior

9%

Abdominal posterior

9%

Lengan dan tangan kanan

9%

Lengan dan tangan kiri

9%

Tungkai atas kanan

9%

Tungkai bawah kanan

9%

Tungkai atas kiri

9%

Tungkai bawah kiri

9%

Genital

1%

TOTAL

100%

Metode Lund and Browder chart merupakan cara yang paling tepat untuk menghitung luas luka bakar karena dapat mengikuti perubahan permukaan tubuh sesuai dengan usia sehingga dapat menghasilkan penghitungan yang akurat pada anak-anak dan bayi.7 Penghitungan luas luka bakar berdasarkan Lund and Browder chart dapat dilihat pada tabel 2.

Tabel 2   Luas permukaan tubuh (%) berdasarkan Lund and Browder chart7

Area

Umur (tahun)

< 1

1-4

5-9

10-14

15

Dewasa

Kepala

19

17

13

11

9

7

Leher

2

2

2

2

2

2

Trunkus anterior

13

13

13

13

13

13

Trunkus posterior

13

13 13 13 13

13

Bokong kanan

2,5

2,5 2,5 2,5 2,5

2,5

Bokong kiri

2,5

2,5 2,5 2,5 2,5

2,5

Genitalia

1

1 1 1 1

1

Brakhium kanan

4

4 4 4 4

4

Brakhium kiri

4

4 4 4 4

4

Antebrakhium kanan

3

3 3 3 3

3

Antebrakhium kiri

3

3 3 3 3

3

Tangan kanan

2,5

2,5 2,5 2,5 2,5

2,5

Tangan kiri

2,5

2,5 2,5 2,5 2,5

2,5

Paha kanan

5,5

6,5 8 8,5 9

9,5

Paha kiri

5,5

6,5 8 8,5 9

9,5

Cruris kanan

5

5 5,5 6 6,5

7

Cruris kiri

5

5 5,5 6 6,5

8

Kaki kanan

3,5

3,5 3,5 3,5 3,5

3,5

Kaki kiri

3,5

3,5 3,5 3,5 3,5

3,5

ASPEK KEDOKTERAN FORENSIK PADA KORBAN LUKA BAKAR

Kematian pada korban luka bakar 2

Kematian karena luka bakar terbagi menjadi kematian cepat dan kematian lambat. Kematian cepat terjadi dalam beberapa menit sampai beberapa jam setelah terjadinya luka bakar. Kematian cepat pada luka bakar dapat terjadi akibat syok neurogenik (nyeri yang sangat berat), luka akibat panas yang menyebabkan kehilangan cairan, dan luka pada saluran nafas.

Kematian lambat terjadi sebagai hasil beberapa kemungkinan komplikasi, seperti kehilangan cairan yang dapat menyebabkan syok hipovolemik atau gagal ginjal, kerusakan pada epitel saluran pernafasan dan acute respiratory distress syndrome, serta sepsis akibat pneumonia.

Perbandingan luka bakar ante mortem dan post mortem2

Pemeriksaan forensik dapat dilakukan untuk mengetahui apakah jenazah yang meninggal pada peristiwa kebakaran meninggal akibat luka bakar atau sudah meninggal sebelum terjadinya luka bakar. Pada korban yang masih hidup saat terbakar akan ditemukan adanya gelembung, adanya jelaga pada saluran pernafasan, serta saturasi karbon monoksida (CO) dalam darah korban > 10%. Pada korban yang keracunan CO, jika tubuh korban tidak terbakar seluruhnya, akan terbentuk lebam mayat berwarna merah terang (cherry red). Pada tubuh manusia yang telah mati sebelum dibakar tidak akan terdapat warna kemerahan pada kulit karena tidak lagi terjadi reaksi intravital. Tubuh mayat akan tampak keras dan kekuningan. Gelembung yang terbentuk akan berisi cairan yang mengandung sedikit albumin dan memberikan sedikit kekeruhan bila dipanaskan, serta sangat sedikit atau tidak ditemukan sel polimorfonuklear (PMN).

Ada tiga poin utama untuk membedakan luka bakar antemortem dan postmortem, yaitu batas kemerahan, vesikasi, dan proses perbaikan. Pada kasus luka bakar antemortem, terdapat eritema yang disebabkan oleh distensi kapiler yang sifatnya sementara yang dapat menghilang akibat tekanan saat masih hidup dan kemudian memudar setelah meninggal. Namun, eritema ini bisa saja tidak ada pada orang yang sangat lemah kondisinya, seperti pada korban yang meninggal segera setelah syok karena luka bakar tersebut.

Vesikasi yang timbul akibat luka bakar antemortem mengandung cairan serosa yang berisi albumin, klorida, sedikit PMN, memiliki daerah yang berwarna kemerahan, dan dasarnya inflamasi dengan papilla yang meninggi. Kulit yang mengelilingi vesikasi tersebut berwarna merah cerah atau berwarna tembaga. Hal ini merupakan ciri khas yang membedakan vesikasi sejati dengan vesikasi palsu yang timbul setelah mati. Vesikasi palsu hanya mengandung udara dan biasanya juga mengandung serum yang jumlahnya sedikit, berisi albumin, namun tidak ada klorida.

Proses perbaikan, seperti tanda-tanda inflamasi, pembentukan jaringan granulasi, pus, dan pengelupasan, menunjukkan bahwa luka bakar tersebut terjadi saat korban masih hidup. Luka bakar yang disebabkan setelah mati menunjukkan tidak ada reaksi vital dan memiliki tampakan dull white dengan membukanya kelenjar pada kulit yang berwarna abu-abu. Organ internal terpanggang dan menimbulkan bau yang khas. Perbedaan antara luka bakar antemortem dan postmortem dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3   Perbedaan luka bakar antemortem dan postmortem2

Karakteristik

Luka bakar antemortem

Luka bakar postmortem

Vesikel dan bula

Warna sekitarnya hiperemis

Cairan banyak mengandung albumin

Dasarnya mengalami inflamasi

Tidak ada udara pada dasarnya

Warna sekitarnya tidak hiperemis

Cairan tidak mengandung albumin

Dasarnya kering dan   keras

Terdapat udara di dalam vesikel/bula

Paru dan saluran nafas

Ada jelaga

Ada reaksi inflamasi pada epitel saluran nafas

Tidak ada jelaga

Tidak ada reaksi inflamasi pada epitel saluran nafas

Gambaran mikroskopis

Terdapat serbukan sel PMN Terdapat sedikit atau tidak terdapat serbukan sel PMN

Identifikasi korban luka bakar 9,10

Identifikasi merupakan proses untuk mencari tahu, meneliti sesuatu hal yang kabur, tidak jelas, atau tidak diketahui agar menjadi jelas identitas atau asal-usulnya. Identifikasi forensik merupakan upaya yang dilakukan dengan tujuan membantu penyidik untuk menentukan identitas seseorang. Identitas tersebut dapat diketahui dengan berbagai cara, diantaranya mempelajari, mengamati, dan meneliti profil wajah seseorang, pas foto, bentuk kepala, bentuk badan, gigi, atau sidik jari. Identifikasi melingkupi beberapa hal, antara lain pemeriksaan sidik jari, pemeriksaan gigi, dan pemeriksaan DNA.

Pemeriksaan sidik jari
Metode ini dilakukan dengan cara membandingkan sidik jari pada jenazah dengan data sidik jari antemortem. Pemeriksaan sidik jari hingga saat ini merupakan pemeriksaan yang diakui paling tinggi ketepatannya untuk menentukan identitas seseorang.

Pemeriksaan gigi
Pemeriksaan gigi meliputi pencatatan gigi (odontogram) dan rahang yang dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan manual, sinar X, dan pencetakan gigi-rahang. Odontogram memuat data tentang jumlah, bentuk, susunan, tambalan, protesa gigi, dan sebagainya. Seperti halnya sidik jari, setiap individu memiliki susunan gigi yang khas sehingga dapat dilakukan identifikasi dengan cara membandingkan data temuan dengan data antemortem.

Pemeriksaan DNA
Identifikasi dengan pemeriksaan DNA merupakan upaya untuk membandingkan profil DNA korban dengan DNA pembanding, sehingga didapatkan hasil DNA yang cocok atau tidak cocok.

KESIMPULAN

Luka bakar adalah rusak atau hilangnya jaringan yang disebabkan oleh kontak permukaan tubuh dengan sumber panas, seperti kobaran api di tubuh, jilatan api ke tubuh, terkena air panas, tersentuh benda panas, sengatan listrik, bahan-bahan kimia, radiasi, dan sengatan matahari. Luka bakar merupakan salah satu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi yang membutuhkan penanganan khusus.

Luka bakar dapat dibagi menjadi empat derajat berdasarkan kedalaman jaringan yang mengalami kerusakan, yaitu derajat I, derajat II (dangkal dan dalam), derajat III, dan derajat IV. Selain itu, derajat luka bakar juga dapat dinilai dari luas permukaan tubuh yang mengalami luka bakar. Luas luka bakar pada tubuh dapat dihitung dengan metode penghitungan palmar, rule of nine, dan Lund and Browder chart.

Kematian akibat luka bakar dapat berupa kematian cepat yang terjadi beberapa menit hingga beberapa jam setelah terjadinya luka bakar atau kematian lambat yang merupakan hasil dari komplikasi kondisi korban. Selain itu juga perlu ditentukan apakah luka yang terjadi pada korban adalah luka bakar antemortem atau postmortem. Hal ini dapat dilihat dari vesikel/bula yang timbul, gambaran saluran pernafasan, serta gambaran mikroskopis. Selanjutnya dilakukan proses identifikasi untuk mengetahui identitas korban. Identifikasi korban luka bakar dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan sidik jari, pemeriksaan gigi, dan pemeriksaan DNA.

REFERENSI

  1. Yovita S. Penanganan luka bakar. Aceh: Pemerintah Aceh; 2013.
  2. Dewi YRS. Luka bakar: konsep umum dan investigasi berbasis klinis luka antemortem dan postmortem. Denpasar: Fakultas Kedokteran Universitas Udayana; 2013.
  3. Dewi D, Sanarto, Taqiyah B. Pengaruh frekuensi perawatan luka bakar derajat II dengan madu nectar flora terhadap lama penyembuhan luka. Malang: Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya; 2011.
  4. Syuhar MN. Perbandingan tingkat kesembuhan luka bakar derajat II antara pemberian madu dengan tumbukan daun binahong pada tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague dawley. Lampung: Fakultas Kedokteran Universitas Lampung; 2014.
  5. Mansjoer A, Triyanti K, Syafitri R, Wardhani WI, Setiowulan W. Kapita selekta kedokteran jilid II edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius; 1999. h. 368-9.
  6. Muarif Z. Asuhan keperawatan dengan combustio grade II pada Ny. S di Ruang Umar Rumah Sakit Roemani Semarang. Semarang: Universitas Muhammadiyah Semarang; 2009.
  7. Prasetyono TOH, Rendy L. Merujuk pasien luka bakar: pertimbangan praktis. Maj Kedokt Indon 2008; 58(6):216-24.
  8. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku ajar ilmu bedah edisi 2. Jakarta: EGC; 2004. h.73-4.
  9. Veneza ADA. Fungsi sidik jari dalam mengidentifikasi korban dan pelaku tindak pidana. Makassar: Universitas Hassanuddin; 2013.
  10. Syukriani Y. DNA Forensik. Bandung: Sagung Seto; 2012. h. 10.

Download PDF Button

Leave a comment